Tampilkan postingan dengan label Tentang Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tentang Rumah Sakit. Tampilkan semua postingan

Senin, 08 Oktober 2012

Pasien Home Care

Pasien yang perlu mendapatkan pelayanan home care antara lain :
1. Penderita lansia pasca rawat inap di Rumah Sakit seperti penderita penyakit hipertensi atau darah tinggi, stroke, diabetes mellitus atau kencing manis.
2. Pasien yang mengidap kanker dalam stadium akhir. Pada pasien seperti ini, mengganggu kualitas hidupnya sampai akhir hayat jika tidak segera ditangani.
3. Usia pasien yang sudah sangat lanjut yaitu pasien yang telah berusia 85 tahun ataupun lebih yang biasa disebut dengan oldest old.
4. Pasien dalam keadaan yang sudah pikun atau demensia, pasien inkontinensia atau pasien yang sudah tidak dapat menahan buang air kecil dan buang air besar, pasien dengan ulkus dekubitus dan ulkus diabetes.
5. Penderita falls atau roboh, malnutrisi, tidak mau makan dan nyeri.
6. Pasien penderita dengan masalah psikososial misalnya mengalami depresi, mengalami perasaan kesepian dan mengalami kecemasan.
7. Pasien penderita lanjut usia atau lansia yang tidak dirawat di rumah sakit tetapi perlu dilakukan pelayanan atas permintaan keluarga dari pasien. 

Senin, 23 April 2012

Pengenaan Tarif Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

Pengenaan Tarif Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H
Tarif adalah salah satu penerimaan dari rumah sakit selain dari: hibah, hasil kerja sama dengan pihak lain, APBD, APBN , hasil investasi, dan lain-lain. Tarif merupakan sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan kegiatan pelayanan medik dan non medik yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa pelayanan yang diterimanya. Dimana pengenaan tarif rumah sakit ini tidak dimaksudkan untuk mencari laba dan ditetapkan dengan asas gotong royong dan adil dengan mengutamakan kepentingan masyarakat yang berpenghasilan rendah atau masyarakat miskin. Adapun dasar pengenaan tarif rumah sakit ditetapkan atas dasar jenis pelayanan, klasifikasi rumah sakit, tingkat kecanggihan pelayanan dan kelas perawatan.

Tarif rumah sakit merupakan aspek yang sangat diperhatikan baik oleh rumah sakit swasta maupun rumah sakit pemerintah. Bagi sebagian rumah sakit pemerintah, tarif memang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menkes atau Pemerintah Daerah. Hal ini menunjukkan adanya kontrol ketat pemerintah sebagai pemilik terhadap rumah sakit sebagai firma atau pelaku usaha. Akan tetapi disadari bahwa tarif pemerintah pada umumnya mempunyai cost-recovery (pemulihan biaya) yang rendah. Apabila tarif mempunyai tingkat pemulihan biaya rendah diberlakukan pada kelas layanan bawah (misalnya kelas III) maka hal tersebut merupakan sesuatu yang layak, sehingga terjadi subsidi pemerintah bagi masyarakat miskin untuk menggunakan pelayanan rumah sakit. Akan tetapi, apabila tingkat pemulihan biaya ternyata juga rendah untuk kelas VIP misalnya, maka dapat terjadi subsidi untuk masyarakat atas.

Adanya penggolongan rumah sakit berdasarkan pemiliknya maka penaganan penetapan tarif dan tujuan penetapan tersebut dipengaruhi oleh pemiliknya, sehingga dengan latar belakang kepemilikan tersebut, tarif dapat ditetapkan dengan berbagai tujuan sebagai berikut:
a. Pemulihan Biaya
Tarif dapat ditetapkan untuk meningkatkan pemulihan biaya rumah sakit. Keadaan ini terutama terdapat pada rumah sakit pemerintah yang semakin lama semakin berkurang subsidinya. Pada masa lalu kebijakan swadana rumah sakit pemerintah pusat ditetapkan berdasarkan pemulihan biaya (cost recovery). Oleh karena itu, muncul pendapat yang menyatakan bahwa kebijakan swadana berkaitan dengan naiknya tarif rumah sakit.
b. Subsidi silang
Dalam manajemen rumah sakit diharapkan ada kebijakan agar masyarakat ekonomi kuat dapat ikut meringankan pembiayaan pelayanan rumah sakit bagi masyarakat ekonomi lemah. Dengan konsep subsidi silang ini maka tarif bangsal VIP atau kelas 1 harus berada diatas unit cost agar surplusnya dapat dipakai untuk mengatasi kerugian di bangsal kelas III. Selain subsidi silang berbasis pada ekonomi, rumah sakit juga diharapkan melakukan kebijakan penetapan tarif yang berbeda pada bagian-bagiannya. Sebagai contoh Instalasi Rawat Darurat (IRD) mempunyai potensi sebagai bagian yang mendatangkan kerugian. Oleh karena itu, perlu disubsidi oleh bagian lain yang mempunyai potensi mendatangkan keuntungan, misalnya instalasi farmasi. Kebijakan subsidi silang ini secara praktis sulit dilakukan karena terjadi tarif rumah sakit yang melakukan subsidi silang jauh berada di atas tarif pesaingnya. Apabila rumah sakit memaksakan melakukan subsidi silang dari tarif-tarif yang ada dikhawatirkan akan terjadi penurunan mutu pelayanan dalam jangka panjang dibandingkan dengan rumah sakit yang tidak mempunyai tujuan untuk subsidi silang.
c. Meningkatkan Akses Pelayanan
Ada suatu rumah sakit mempunyai misi untuk melayani masyarakat miskin. Oleh karena itu, pemerintah atau pemilik rumah sakit ini mempunyai kebijakan penetapan tarif serendah mungkin. Diharapkan dengan tarif yang rendah maka akses orang miskin menjadi lebih baik. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa akses tinggi belum berarti menjamin mutu pelayanan yang baik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mutu pelayanan rumah sakit pemerintah rendah mutu pelayanan yang baik. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mutu pelayanan rumah sakit pemerintah rendah akibat subsidi pemerintah terbatas dan tarif rumah sakit rendah dengan sistem manajemen yang birokratis. Kegagalan pemerintah memberikan subsidi cukup bagi biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit yang mempunyai tarif rendah menyebabkan mutu pelayanan rumah sakit semakin rendah memberikan subsidi cukup bagi biaya operasional dan pemeliharaan rumah sakit yang mempunyai tarif rendah menyebabkan mutu pelayanan rumah sakit semakin rendah secara berkesinambungan.
d. Meningkatkan Mutu Pelayanan
Di berbagai rumah sakit pemerintah daerah, kebijakan penetapan tarif pada bangsal VIP dilakukan berdasarkan pertimbangan untuk peningkatan mutu pelayanan dan peningkatan kepuasan kerja dokter sepesialis. Sebagai contoh, bangsal VIP dibangun untuk mengurangi waktu spesialis di rumah sakit swasta. Terlalu lamanya waktu yang dipergunakan dokter spesialis pemerintah di rumah sakit swasta dapat pemerintah di rumah sakit swasta dapat mengurangi mutu pelayanan.
e. Untuk Tujuan Lain
Beberapa tujuan lainnya, misalnya mengurangi pesaing, memaksimalkan pendapatan, menciptakan corporate image. Penetapan tarif untuk mengurangi pesaing dapat dilakukan utuk mencegah adanya rumah sakit yang baru yang akan menjadi pesaing. Dengan cara ini, rumah sakit yang sudah terlebih dahulu beroperasi mempunyai strategi agar tarifnya tidak sama dengan rumah sakit baru.
Penetapan tarif untuk memperbesar keuntungan dapat dilakukan pada pasar rumah sakit yang cenderung dikuasai satu rumah sakit (monopoli). Oleh karena itu, penetapan tarif dapat dilakukan dengan tujuan memaksimalisasikan pendapatan. Tanpa kehadiran pesaing dalam suasana pasar dengan demand tinggi, maka tarif dapat dipasang pada tingkat yang setinggi-tingginya, sehingga dapat meningkatkan surplus secara maksimal.
Penetapan tarif yang bertujuan minimalisasi penggunaan pelayanan, mengurangi pemakaian, tarif dapat ditetapkan secara tinggi. Sebagai contoh, tarif periksa umum pada rumah sakit pemerintah ditetapkan jauh lebih dibandingkan dengan pelayanan serupa di Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat). Dengan cara ini maka fungsi rujukan dapat ditingkatkan sehingga masyarakat hanya menggunakan rumah sakit apabila perlu saja.
Penetapan tarif dengan tujuan menciptakan Corporate Image adalah penetapan tarif yang ditetapkan dengan tujuan meningkatkan citra sebagai rumah sakit golongan masyarakat kelas atas. Sebagai contoh, berbagai rumah sakit di Jakarta menetapkan tarif bangsal super VIP dengan nilai yang sangat tinggi. Timbul kesan seolah-olah berlomba untuk mendapatkan citra rumah sakit paling mewah.
Pengenaan tarif pada rumah sakit umum daerah khususnya kelas III harus sesuai dengan Undang-undang Rumah Sakit Tahun 2009 pada Pasal 50 ayat 2 dimana besaran tarif pada kelas III yang dikelola Pemerintah Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Selanjutnya bila dilihat pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan badan Layanan Umum pada Pasal 9 disebutkan bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang / jasa layanan yang diberikan, yang disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. Pada prosedur penetapan tarif diusulkan oleh BLU kepada menteri / pimpinan lembaga / kepada SKPD yang sesuai dengan kewenangannya, kemudian usul tarif layanan dari menteri/pimpinan lembaga / kepala SKPD selanjutnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan / gubernur / bupati / walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam penetapan tarif bagi BLU harus mempertimbangkan: Kontinuitas dan pengembangan layanan, Daya beli masyarakat, Asas keadilan dan kepatutan, Kompetisi yang sehat.
Sumber Buku :
Laksono Trisnantoro, 2009. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi Dalam Manajemen Rumah Sakit, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Manajemen Pemasaran Rumah Sakit BLU

Manajemen Pemasaran Rumah Sakit BLU ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H
Rumah Sakit dalam melakukan promosi pemasaran harus bersifat informatif, edukatif, prespektif, dan preparatif, tidak komparati, berpijak pada dasar yang nyata, tidak berlebihan, dan berdasarkan KODERSI, khususnya Pasal 23.

Dalam pelayanan kesehatan konsep �pemasaran� (marketing) nampaknya lebih berkonotatif negatif daripada positif, karena membangkitkan pemikiran ke arah promosi periklanan dan penjualan (sales), padahal hakekat pemasaran adalah komunikasi. Dengan demikian promosi sebagai alat pemasaran Rumah Sakit dapat dilakukan dan lebih merupakan penyuluhan yang bersifat informatif, edukatif, preskriptis, dan preparatif bagi khalayak ramai umumnya dan pasien khususnya.
a. Informatif adalah memberikan pengetahuan menganai hal ikhwal yang ada relefansinya dengan berbagai pelayanan dan program Rumah Sakit yang efektif bagi pasien atau konsumen.
b. Edukatif adalah memperluas cakrawala khalayak ramai tentang berbagai fungsi dan program Rumah Sakit, penyelenggaraan kegiatan, upaya kesehatan di Rumah Sakit yang bersangkutan .
c. Preskriptif adalah petunjuk kepada khalayak ramai pada umumnya dan pasien pada khususnya tentang peran pencari pelayanan kesehatan dalam proses diagnosis dan terapi.
d. Preparatif adalah membantu pasien atau keluarga pasien dalam proses pengambilan keputusan.

Keberhasilan manajemen pemasaran sangat tergantung kepada bagaimana orgsnisasi itu merancang sesuatu yang akan ditawarkannya (yaitu pelayanan) berdasarkan atas kebutuhan dan harapan pasar sasaran, ketepatan dalam penetapan tarif atau harga, komunikasi dalam menginformasikan dan memotivasi, serta penyediaan tempat untuk penyelenggaraan pelayanan itu kepada pasar sasaran. Dalam hal ini ada tujuh butir yang perlu disadari dan dipahami, yaitu:
a. Pemasaran merupakan proses manajerial yang meliputi analisis, perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian. Pemasaran juga dapat dilihat sebagai proses sosial dimana kebutuhan masyarakat diidentifikasi, dikembangkan, dan dipenuhi atau dilayankan oleh suatu institusi.
b. Pemasaran mewujudkan dirinya dalam bentuk program yang dirumuskan dengan cermat, bukan sekedar kegiatan-kegiatan acak untuk merespon. Jika seorang Direktur Rumah Sakit sekedar menyuruh seorang stafnya mengiklankan rumah sakitnya, itu tidak dapat dikatakan sebagai pemasaran.
c. Pemasaran menghendaki terselenggaranya tukar-menukar secara sukarela. Dengan pemasaran memang diharapkan terjadi tukar-menukar, tetapi bukan karena paksaan atau peraturan, melainkan atas dasar suka sama suka.
d. Pemasaran berarti pengelompokan pasar ke dalam pasar-pasar sasaran agar dapat memberikan pelayanan yang sesuai. Bukan sebuah nafsu besar untuk melayani semua pasar dengan sesuatu yang seragam.
e. Pemasaran bertujuan untuk membantu organisasi menjamin keselamatan dan kesehatannya dengan cara melayani sebaik-baiknya pasar sasaran. Dalam hal ini harus diingat bahwa rumah sakit bukan organisasi yang murni bisnis. Artinya, harus diupayakan keseimbangan antara mengejar laba dengan menyehatkan klien atau pasien.
f. Keberhasilan pemasaran sangat ditentukan oleh kesesuaian pelayanan yang ditawarkan dengan kebutuhan dan harapan pasar sasaran. Bukan oleh kesesuaian pelayanan dengan selera pribadi dari si penghasil produk (rumah sakit).
g. Pemasaran adalah upaya untuk mensinergikan sejumlah kegiatan, yaitu perancangan pelayanan, penetapan tarif atau harga, komunikasi atau promosi, dan penyediaan tempat untuk penyelenggaraan pelayanan, dalam satu perangkat yang disebut (marketing mix).
Sumber Rujukan :
Pitono Soeparto, dkk, 2006. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan, Airlangga University Press, Surabaya.
Bambang Hartono, 2010. Manajemen Pemasaran Untuk Rumah Sakit, Rineka Cipta, Jakarta.
KODERSI (Kode Etik Rumah Sakit Indonesia), 2000. Kongres PERSI Ke VIII, Jakarta.

Penetapan Dan Pencabutan Rumah Sakit Badan Layanan Umum (BLU)

Penetapan Dan Pencabutan Rumah Sakit Badan Layanan Umum ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H
Akhir-akhir ini mulai banyak rumah sakit umum di daerah yang berubah menjadi Badan Layanan Umum. Fenomena ini menarik dan patut didukung, karena �mungkin� saja dengan BLU pengelolaan rumah sakit menjadi lebih baik, kualitas pelayanan meningkat dan pasien akan terpuaskan. Namun harus hati-hati merubah rumah sakit umum daerah menjadi BLU. sebab penerapan BLU di rumah sakit jika tidak diikuti dengan penjaminan kesehatan bagi masyarakatnya, akan berdampak pada semakin tidak mampunya masyarakat menjangkau pelayanan di rumah sakit. Sebab rumah sakit BLU rata-rata menaikkan tarifnya melalui perhitungan tarif berdasarkan prinsip-prinsip bisnis, unit cost, dan lain-lain untuk mengejar cost recovery diatas 60% seperti yang dipersyaratkan untuk menjadi BLU.

Memang diakui bahwa pengelolaan rumah sakit sebagai satuan kerja perangkat daerah dirasakan memperlambat arus kas rumah sakit, terutama untuk memenuhi kebutuhan operasional, mulai penyediaan obat dan bahan habis pakai medis hingga jasa medis yang terlambat, yang pada akhirnya menurunkan kualitas pelayanan. Kelambatan tersebut karena rumah sakit harus menyetor keseluruhan dari pendapatannya ke kas daerah dalam waktu 1 x 24 jam. Untuk kebutuhan rumah sakit harus mengajukan tagihan sesuai mekanisme yang berlaku bagi SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) dan harus tercantum DPA SKPD rumah sakit yang disahkan melalui APBD, dalam hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Pasal 10 ayat 4 dimana RBA BLU disusun berdasarkan kebutuhan dan kemampuan pendapatan yang diperkirakan akan diterima dari masyarakat, badan lain, dan APBN/APBD.

Sifat pelayanan kesehatan yang uncertainty (ketidakpastian) membuat rumah sakit kesulitan memprediksi berapa seharusnya anggaran real rumah sakit. Tidak heran jika banyak rumah sakit yang harus berhutang kepada perusahaan obat dan jasa medis yang tidak terbayarkan. Beberapa rumah sakit bahkan para tenaga medisnya melakukan unjuk rasa.
Pengertian BLU itu sendiri menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, Pasal 1 angka 1 yaitu Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi dilingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memeberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang dimaksud dengan BLUD adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan prodiktivitas.
Sedangkan tujuan dibentuknya BLU adalah sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 2 yang menyebutkan bahwa Badan Layanan Umum (BLU) dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prisip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Pada PPK-BLUD bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kemudian ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal 69 ayat (7) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 2 yang menyebutkan bahwa BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Dengan BLU maka rumah sakit bisa menggunakan langsung pendapatan yang diterimanya.
Walaupun rumah sakit BLU tidak ditujukan untuk mencari keuntungan namun penerapan praktek bisnis yang sehat mengharuskan manajemen harus bisa memenuhi pencapaian cost recovery yang lebih produktif. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menaikkan tarif dengan menghitungnya berdasarkan biaya satuan perpelayanan. Kenaikan ini yang akan memberatkan masyarakat pengguna rumah sakit umum daerah yang notabene adalah masyarakat menengah kebawah. Di sisi lain tidak semua masyarakat yang ada di daerah menjadi peserta jamkesmas, belum meratanya kepesertaan dalam asuransi sosial yang sebagian besar hanya diikuti oleh pegawai negeri (ASKES PNS), Jamsostek dan asuransi komersial lainnya. Kebanyakan masyarakat jadi miskin jika sakit (the law of medical money).
Terhadap permasalahan tersebut maka daerah harus mengikutinya dengan memberikan penjaminan kesehatan, baik premi yang sepenuhnya berasal dari APBD maupun iuran premi dengan peserta. Jika ini dilakukan maka berapapun tarif yang diterapkan oleh RSU BLU tidak menjadi masalah, karena masyarakat telah memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan.
Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera (Bappenas 2005). Melalui Program Indonesia Sehat 2010, gambaran masyarakat Indonesia di masa depan yang ingin dicapai adalah masyarakat yang antara lain hidup dalam lingkungan yang sehat dan mempraktekkan perilaku hidup bersih dan sehat (Depkes 2003). Lingkungan yang sehat termasuk di dalamnya bebas dari wabah penyakit menular. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah (RPJM) 2004-2009, salah satu program di bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit, termasuk wabah penyakit menular (Bappenas 2004c). Penanganan secara cepat terhadap wabah penyakit juga merupakan bagian dari peningkatan pelayanan kesehatan dasar yang menjadi satu dari tiga prioritas program 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2009 di bidang kesehatan (Bappenas 2004a; Depkes 2005a).
Rumah sakit pemerintah yang layak untuk dirubah menjadi Rumah Sakit Badan Layanan Umum (RSBLU) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum menurut Pasal 3 adalah BLU yang beroperasi sebagai unit kerja kemeterian Negara/lembaga/pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan, disamping itu BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian Negara/lembaga/pemerintah daearah dan karenanya status badan hukum BLU tidak terpisah dari kementerian Negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk. Sedangkan yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan adalah Menteri/pemimpin lembaga/gubernur/bupati/walikota. Untuk pejabat yang ditunjuk mengelaola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh menteri/pemimpin lembaga/gubernur/bupati/walikota.
Untuk persyaratan dan penetapan ijin satuan kerja instansi pemerintah menjadi sebuah BLU yang pengelolaan keuangannya melalui PPK-BLU menurut Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum sesuai dengan Pasal 4 dan 5 adalah harus memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif meliputi:
a. Persyaratan substantif yaitu apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan:
1. Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum;
2. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau
3. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat.
b. Persyaratan teknis meliputi:
1. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan oleh menteri/pimpinan lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sesuai dengan kewenangannya; dan
2. Kinerja keuangan satuan kerja instansi yang bersangkutan adalah sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
c. Persyaratan administratif yaitu apabila instansi pemerintah yang bersangkutan dapat menyajikan seluruh dokumen sebagai berikut:
1. Pernyatan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
2. Pola tata kelola;
3. Rencana strategis bisnis;
4. Laporan keuangan pokok;
5. Standar pelayanan minimum;
6. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Apabila semua persyaratan tersebut diatas maka pelaksanaan penetapnnya dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menteri / pimpinan lembaga/kepala SKPD mengusulkan kepada Menteri Keuangan / gubernur / bupati / walikota atas instansi pemerintah yang telah memenuhi semua persyaratan untuk menerapkan PPK-BLU sesuai kewenagannya.
b. Penerapan PPK-BLU dapat berupa:
1. Pemberian status BLU secara penuh yaitu apabila seluruh persyaratan substantif, teknis, dan administratif telah terpenuhi dengan memuaskan.
2. Pemberian stasus BLU bertahap apabila hanya terpenuhi persyaratan substantif dan persyaratan teknis saja dan persyaratan administratifnya belum terpenuhi secara memuaskan. Dalam status BLU bertahap ini berlaku paling lama 3 (tiga) tahun.
Mengenai penetapan atau penolakan maka Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, maka sesuai dengan kewenangannya memberi keputusan penetapan atau surat penolakan terhadap usulan penetapan BLU paling lambat 3 (tiga) bulan sejak diterima dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD. Berakhirnya PPK-BLU yaitu dengan dicabutnya BLU oleh Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota sesuai kewenangannya, melalui Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota dengan mendasarkan usul dari menteri/pimpinan lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya dapat mencabut status BLU, dan berubahnya status menjadi badan hukum dengan kekayaan Negara yang dipisahkan. Pencabutan ini dilakukan karena BLU ynag bersangkutan sudah tidak memenuhi persyaratan subtantif, teknis, dan/atau administratif. Dalam usulan usulan penetapan dan pencabutan PPK-BLU Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota dengan kewenagannya menunjuk suatu tim penilai.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah menurut ketentuan dalam Peraturan Menteri pada Pasal 2 disebutkan bahwa BLUD beroperasi sebagai perangkat kerja pemerintah daerah untuk tujuan pemberian layanan umum secara lebih efektif dan efisien sejalan dengan praktek bisnis yang sehat, yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh kepala daerah. BLUD juga bagian dari perangkat pemerintah daerah yang dibentuk untuk membantu pencapaian tujuan pemerintah daerah, dengan status hukum tidak terpisahkan dari pemerintah daerah, kepala daerah selaku penanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didilegasikan kepada kepala BLUD khususnya pada aspek manfaat yang dihasilkan dan juga mengutamakan efektivitas dan efisiensi serta kualitas pelayanan umum kepada masyarakat tanpa mengutamakan mencari keuntungan (not for profit) dengan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangannya. Pertanggung jawaban pejabat pengelola BLUD langsung kepada kepala daerah selaku stakeholder dari BLUD tersebut, oleh karena itu rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLUD disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja pemerintah daerah.
Seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk persyaratan dan penetapan PPK-BLUD pada SKPD atau Unit Kerja juga harus memenuhi persyaratan subtantif, teknis, dan administratif. Untuk penerapan PPK-BLUD sebagaimana pada Pasal 9 harus memenuhi:
a. Kinerja pelayanan di bidang tugas dan fungsinya layak dikelola (dengan kriteria: memilikipotensi untuk meningkatkan penyelenggaraan pelayanan secara efektif, efisien, dan produktif. Dan memiliki spesifikasi teknis yang terkait lansung dengan layanan umumkepada masyarakat) dan ditingkatkan pencapaiannya melalui BLUD atas rekomendasi sekretaris daerah untuk SKPD atau kepala SKPD untuk Unit Kerja;
b. Kondisi kinerja keuangan SKPD atau Unit Kerja yang sehat (dalam hal ini ditunjukkan dengan tingkat kemampuan pendapatan dari layanan yang cenderung meningkat dan efisien dalam membiayai pengeluarannya).
Khusus pelayanan kesehatan diatur dalam pada Pasal 6 ayat 1 yaitu: penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan masyarakat diutamakan untuk pelayanan kesehatan. Penetapan PPK-BLUD untuk pelayanan kesehatan diatur dala Pasal 18 dimana SKPD atau Unut Kerja mengajukan permohonan kepada kepala daerah melalui sekeretaris daerah dengan dilampiri dokumen persyaratan administratif, meliputi:
a. Surat pernyatan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat bagi masyarakat;
b. Pola tata kelola;
c. Rencana strategis bisnis;
d. Standar pelayanan minimum;
e. Laporan keuangan pokok atau prognosa/proyeksi laporan keuangan;
f. Laporan audit terakhir atau pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen.
Penyelenggaraan fungsi organisasi berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik (good corporate governance) dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan merupakan salah satu dari aktualisasi praktek bisnis yang sehat.. Good corporate governance (GCG) adalah konsep untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dengan tujuan untuk menjamin agar tujuan rumah sakit tercapai dengan penggunaan sumberdaya se-efisien mungkin.
GCG secara definitive merupakan system yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua stakeholder. Konsep GCG dapat juga diartikan sebagai konsep pengelolaan perusahaan yang baik. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam konsep GCG ini yaitu:
a. Pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar (akurat) dan tepat waktunya.
b. Kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu dan trasnparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan dan stakeholder.
Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha saat ini merupakan suatu tuntutan agar perusahaan-perusahaan besar, kuhususnya sebuah instiusi seperti ruamah sakit yang sarat atau padat modal, padat karya dan peralatan-peralatan yang mahal harganya dapat tetap eksis dalam persaingan global. Penerapan GCG dalam suatu perusahaan sendiri mempunyai tujuan-tujuan strategis. Tujuan-tujuan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan nilai perusahaan;
b. Untuk dapat mengelola sumber daya dan resiko secara lebih efektif dan efisien;
c. Untuk dapat meningkatkan disiplin dan tanggung jawab dari organ perusahaan demi menjaga kepentingan para shareholder dan stakeholder perusahaan;
d. Untuk meningkatkan kontribusi perusahaan (khusunya perusahaan-perusahaan pemerintah) terhadap perekonomian nasional;
e. Meningkatkan investasi nasional; dan
f. Mensukseskan program privat-isasi perusahaan-perusahaan pemerintah.
Adapun rinsip-prinsip good corporate governance dalam hal ini meliputi:
a. Transparansi (Transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
b. Kemandirian (Independecy), yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
c. Akuntabilitas (Accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organisasi sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
d. Pertanggungjawaban (Responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
e. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan perundang-undangan yang berlaku.

Peraturan Rumah Sakit Swasta

Peraturan-Peraturan Yang Mengatur Rumah Sakit Swasta ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H

a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 084/Menkes/Per/II/1990 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 920/Menkes/Per/XII/1986 Tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik;
b. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/Menkes/SK/XII/1987 tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta;
c. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/Menkes/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta;
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/Menkes/Per/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta;
e. Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor 0308/Yanmed/RSKS/PA/SK/IV/1992 tentang Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Swasta di Bidang Rumah Sakit Dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing;

f. Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Nomor HK.00.06.3.5.5797 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta Di Bidang Medik Spesialis, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Nomor HK.00.06.1.5.787 Tahun 1999;

Rumah Sakit Badan Layanan Umum (BLU)

Rumah Sakit Badan Layanan Umum ( RSBLU) ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H
a. Undang-undang Rumah Sakit Tahun 2009, dalam Pasal 20: ayat (1) Berdasarkan pengelolaannya Rumah Sakit dapat dibagi menjadi Rumah Sakit publik dan Rumah Sakit Privat. (2) Rumah Sakit Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. (3) Rumah Sakit publik yang dikelola Pemerintah dan Pemerintah Daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum menurut Pasal 1: dimana BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas. Adapun dalam Pasal 2 maka tujuan BLU yaitu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan prosuktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Menurut Pasal 1: Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) adalah Satuan Kerja Perangkat Daerah atau Unit Kerja pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Dengan tujuan sesuai dalam Pasal 3 yaitu: PPK-BLUD bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah daerah dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Rumah Sakit Pemerintah

Rumah Sakit Pemerintah ditulis oleh : Fery K Indrawanto, SE, SH, M.H
a. Undang-undang Kesehatan Tahun 2009, menurut Pasal 14 Ayat 1: Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Ayat 2: Tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikhususkan pada pelayanan publik. Pasal 15: Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun social bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
b. Undang-undang Rumah Sakit Tahun 2009, menurut Pasal 1: Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Yang memiliki asas dan tujuan dalam Pasal 2: Rumah Sakit diselenggarakan berdasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial. Pasal 3; pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah sakit dan sumberdaya manusia di rumah sakit.
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit.
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah sakit, dan Rumah Sakit.
c. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENLKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, dalam Pasal 1: Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
d. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) dalam penjelasan pada pasal 1 adalah : Rumah Sakit adalah sarana kesehatan sebagai kesatuan sosial ekonomi, bukan merupakan kompilasi dari kode etik profesi penyelenggara pelayanan kesehatan, namun mengandung unsur dari etika profesi masing-masing penyelenggara, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat.