Perjanjian Terapeutik atau Transaksi Terapeutik , atau Kontrak Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter.
Karena
transaksi terapeutik merupakan perjanjian, maka menurut Komalawati (2002) terhadap
transaksi terapeutik juga berlaku hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUH Perdata, sebagaimana disebutkan didalam pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi :
" Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu"
Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian.
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang transaksi terapeutik sebagai berikut :
" Yang dimaksud dengan
transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Menurut Subekti (1985), suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Untuk syarat sahnya perjanjian terapeutik (Nasution : 2005), harus dipenuhi syarat-syarat sesuai pasal 1320 KUH Perdata :
1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan.
Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif yang harus dipenuhi yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap untuk membuat suatu perikatan.
Untuk keabsahan kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, maka kesepakatan ini harus memenuhi kriteria pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi :
" Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan".
Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan), terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang juga dikenal dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik.
Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, diatur dalam pasal 1329 dan 1330 KUH Perdata sebagai berikut :
Pasal 1329 :
"Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap".
Pasal 1330 :
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan.
3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang dibuat bisa dianggap tidak sah) antara lain :
1. Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang gila, pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari pengampunya (yang boleh membuat perikatan dengan dokter adalah pengampunya).
2. Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau orang tuanya.
Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Men.Kes/per/IX/1989, Pasal 8 ayat (2) adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah, maka transaksi terapeutik harus ditanda tangani oleh orang tua atau walinya, yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.
Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.