Sabtu, 11 September 2010

Definisi / Pengertian Hukum Kesehatan

Definisi / Pengertian Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice)

Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perkembangannya dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia pada tahun 1967. Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of The Association for Medical Law yang diadakan secara periodik hingga saat ini.
Di Indonesia perkembangan hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya Kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI / R.S. Ciptomangunkusumo di Jakarta pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) pada kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum Kedokteran / Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

Sumber Rujukan:
Hanafiah, M.J, Amir, A., 1999, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC : Jakarta.

Perjanjian / Transaksi / Kontrak Terapeutik

Perjanjian Terapeutik atau Transaksi Terapeutik , atau Kontrak Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien yang memberikan kewenangan kepada dokter untuk melakukan kegiatan memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki oleh dokter tersebut. dari hubungan hukum dalam transaksi terapeutik tersebut, timbullah hak dan kewajiban masing-masing pihak, pasien mempunyai hak dan kewajibannya, demikian juga sebaliknya dengan dokter.
Karena transaksi terapeutik merupakan perjanjian, maka menurut Komalawati (2002) terhadap transaksi terapeutik juga berlaku hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUH Perdata, sebagaimana disebutkan didalam pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi :
" Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu"

Dengan demikian, untuk sahnya perjanjian tersebut, harus dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata, dan akibat yang ditimbulkannya diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung asas pokok hukum perjanjian.
Mukadimah Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dilampirkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI, No 434/Men.Kes/X/1983 tentang Berlakunya Kode Etik Kedokteran Indonesia Bagi para Dokter di Indonesia, mencantumkan tentang transaksi terapeutik sebagai berikut :
" Yang dimaksud dengan transaksi terapeutik adalah hubungan antara dokter dan penderita yang dilakukan dalam suasana saling percaya (konfidensial), serta senantiasa diliputi oleh segala emosi, harapan dan kekhawatiran makhluk insani.
Menurut Subekti (1985), suatu perjanjian adalah suatu peristiwa bahwa seseorang berjanji kepada orang lain atau antara dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Untuk syarat sahnya perjanjian terapeutik (Nasution : 2005), harus dipenuhi syarat-syarat sesuai pasal 1320 KUH Perdata :
1. Adanya kesepakatan dari mereka yang saling mengikatkan dirinya.
2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Mengenai suatu hal tertentu.
4. Untuk suatu sebab yang halal / diperbolehkan.
Syarat 1 dan 2 merupakan syarat subjektif yang harus dipenuhi yaitu para pihak harus sepakat, dan kesepakatan itu dilakukan oleh pihak-pihak yang cakap untuk membuat suatu perikatan.
Untuk keabsahan kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, maka kesepakatan ini harus memenuhi kriteria pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi :
" Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan".
Agar kesepakatan ini sah menurut hukum, maka didalam kesepakatan ini para pihak harus sadar (tidak ada kekhilafan), terhadap kesepakatan yang dibuat, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak, dan tidak boleh ada penipuan didalamnya. Untuk itulah diperlukan adanya informed consent atau yang juga dikenal dengan istilah Persetujuan Tindakan Medik.
Untuk syarat adanya kecakapan untuk membuat perjanjian, diatur dalam pasal 1329 dan 1330 KUH Perdata sebagai berikut :
Pasal 1329 :
"Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap".
Pasal 1330 :
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa.
2. Mereka yang ditaruh di dalam pengampuan.
3. Orang-orang perempuan, dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Pihak penerima pelayanan medik yang tidak cakap untuk bertindak (tidak boleh membuat kesepakatan, atau kesepakatan yang dibuat bisa dianggap tidak sah) antara lain :
1. Orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak (misalnya : orang gila, pemabuk, atau tidak sadar), maka diperlukan persetujuan dari pengampunya (yang boleh membuat perikatan dengan dokter adalah pengampunya).
2. Anak dibawah umur, diperlukan persetujuan dari walinya atau orang tuanya.
Yang dimaksud dengan dewasa menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/Men.Kes/per/IX/1989, Pasal 8 ayat (2) adalah telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Jadi untuk seseorang yang berusia dibawah 21 tahun dan belum menikah, maka transaksi terapeutik harus ditanda tangani oleh orang tua atau walinya, yang merupakan pihak yang berhak memberikan persetujuan.

Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

Hak Perawat dan Kewajiban Perawat

Apa Sich Hak Perawat dan Kewajiban Perawat ?
Hak- Hak Perawat Meliputi :
1. Mendapatkan perlindungan hukum.
2. Mengembangkan diri sesuai pendidikan spesialis sesuai latar belakang pendidikannya.
3. Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan undang-undang.
4. Mendapat informasi lengkap dari pasien.
5. mendapt perlakuan yang sopan, adil, jujur dan baik.
6. Mendapat jaminan perlindungan terhadap resiko kerja yang menimbulkan bahaya fisik dan stres emosional.
7. Berhak atas privasi dan menuntut jika nama baiknya dicemarkan.
8. Berhak menolak untuk dimutasikan atau dipindahkan ketempat tugas lain untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar profesi keperawatan, undang-undang dan kode etik keperawatan.
9. Berhak mendapat penghargaan dan imbalan.
10. Melakukan praktek profesi dalam batas hukum yang berlaku.
11. Berpartisipasi di dalam organisasi profesi.
Kewajiban Perawat Meliputi :
1. Mematuhi semua peraturan institusi yang bersangkutan.
2. Memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan sesuai dengan standar profesi dan batas-batas kegunaannya.
3. Perawat wajib menghormati hak pasien.
4. Wajib memberikan kesempatan beribadah kepada pasiennya.
5. Wajib berkolaborasi dengan tenaga medis atau petugas medis lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan dan keperawatan.
6. Wajib memberi informasi yang akurat tentang tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien sesuai dengan kemampuannya.
7. Wajib meningkatkan mutu pelayanan keperawatan sesuai standar profesi keperawatan.
8. Wajib membuat dokumentasi asuhan keperawatan secara akurat dan berkesinambungan.
9. Wajib mengikuti perkembangan IPTEK.
10. Wajib melakukan pelayanan darurat sesuai dengan batas kewenangannya sebagai tugas kemanusiaan.
11. Wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien kecuali diminta keterangan oleh yang berwenang atau dokter yang ikut menangani pasien tersebut.
12. Wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati atau perjanjian yang telah dibuat sebelumnya terhadap institusi tempatnya bekerja.

Sumber Rujukan :
Dewi, A.I., 2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher : Yogyakarta.

Senin, 06 September 2010

Rekam Medis Dalam Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata

Rekam Medis Dalam Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata
Baik didalam perkara pidana maupun dalam perkara perdata, hakim memerlukan pembuktian. Hariyani (2005) menjelaskan mengenai pembuktian menurut hukum perdata sebagai berikut :
* Bila seorang dokter dituntut pasien karena melakukan malpraktik medik, maka biasanya dasar tuntutan yang diajukan pasien kepada dokter antara lain :
a. Dokter dituduh melakukan wanprestasi (ingkar janji), dituntut berdasarkan pasal 1239 KUHPerdata.
b. Dokter dituduh melakukan perbuatan melawan hukum, dituntut berdasarkan  pasal 1365 KUHPerdata.
c. Dokter dituduh melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian, dituntut berdasarkan pasal 1366 KUHPerdata.
d. Dokter dituduh melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab, dituntut berdasarkan pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.
* Dalam menghadapi tuntutan atau gugatan dari pasien tersebut, pasien harus membuktikan dasar tuntutan atau gugatannya yang diatur didalam pasal 1865 KUHPerdata yang berbunyi :
Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya sendiri ataupun  membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.
* Dari pasal 1865 KUHPerdata tentang pembuktian diatas, dapat diartikan bahwa bila pasien menggugat atau menuntut dokter, maka ia harus dapat membuktikan kesalahan maupun kelalaian dokter yang dituntut tersebut.
Dokter yang dituntut, tentunya akan melakukan pembelaan diri dengan alat bukti yang bisa mendukung terhadap pembenaran tindakan yang dilakukannya. Menurut pasal 164 HIR / Herziene Indonesisch Reglement (Tresna:1996), maka yang disebut bukti ialah :
a. Bukti surat
b. Bukti saksi
c. Sangka
d. Pengakuan
e. Sumpah
Dalam penjelasan pasal 46 UU Praktik Kedokteran tentang pengertian rekam medis, disebutkan bahwa rekam medis adalah : Berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Dari penjelasan tersebut, dapat diartikan bahwa rekam medis yang berbentuk tertulis ini dapat disamakan dengan surat yang dapat dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan untuk membantah gugatan pasien tersebut.
Hukum Acara Pidana pun menyebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya didapatkan 2 (dua) alat bukti yang sah yang berdasarkan alat bukti tersebut hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah benar-benar melakukan tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam pasal 183 KUHAP. Selanjutnya pasal 184 KUHAP menyebutkan tentang alat bukti yang sah sebagai berikut :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
Dalam Hukum Acara Pidana, rekam medis dapat dijadikan alat bukti surat dipengadilan berdasarkan pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP:
Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan.
Rekam medis merupakan surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu UU Praktik Kedokteran pasal 46 ayat (1) sampai (3) dan Permenkes No. 749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis atau medical record yang menurut pasal 81 UU Praktik Kedokteran masih berlaku. Surat ini dibuat oleh pejabat (dokter) yang termasuk dalam tata laksana tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi sesuatu hal atau sesuatu keadaan tentang pasien. Kriteria ini memenuhi pasal 187 ayat (4) huruf b KUHAP sehingga rekam medis dapat dijadikan alat bukti surat di pengadilan.
Tentang petunjuk sebagaimana disebutkan dalam pasal 184 huruf d, dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 188 ayat (2) dan (3) bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, yang akan diperiksa oleh hakim secara arif dan bijaksana dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya sehingga memberikan keyakinan kepada hakim atas kekuatan pembuktian petunjuk tersebut. Pemberian nilai atas petunjuk diserahkan kepada kebijaksanaan hakim.
Dari isi pasal 188, dapat diartikan bahwa bila seseorang dokter dituduh melakukan tindak pidana dan diajukan kepengadilan sebagai terdakwa, keterangan dokter dan surat serta keterangan saksi (perawat yang ikut merawat pasien) dapat memberikan petunjuk kepada hakim untuk membuktikan dokter bersalah atau tidak. Surat yang dapat dipakai sebagai alat bukti yang mungkin bisa meringankan dokter, tidak lain adalah rekam medis.

Sumber Rujukan :
Isfandyarie,A.,2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.

Jumat, 27 Agustus 2010

Teori Good Samaritan

Teori Good Samaritan adalah Teori Yang Melandasi Pengecualian Kewajiban Informed Consent.
Teori ini menganggap seorang dokter sebagai penolong yang baik hati. Sehingga seorang dokter atau petugas kesehatan tidak dapat dipersalahkan jika menolong orang lain yang dalam keadaan darurat atau bahaya, sepanjang pertolongan yang diberikan pantas atau layak.

Teori ini merupakan teori yang mengecualikan kewajiban informed consent. Namun secara yuridis ada konsekuensi yang harus ditanggung dengan ketiadaan informed consent. Jelas ada pihak yang dirugikan jika tidak ada informed consent terutama dipihak pasien karena rentannya terjadi malpraktik.
Kerugian yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1. Kerugian cacat tubuh dan mental.
2. Kerugian materi yang seharusnya tidak perlu.
3. Kerugian karena menanggung rasa sakit.
4. Kerugian karena tidak bisa hidup secara normal dan mencari penghidupan akibat cacat yang terjadi.
5. Kerugian karena kematian.
6. Kerugian karena penodaan terhadap keyakinan beragama.
Dibanyak negara tindakan medis yang mengabaikan informed consent dianggap setara dengan melakukan kelalaian yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Namun tidak jarang bahkan dianggap sebagai tindakan kesengajaan dan dapat di malpraktikkan. 
Tindakan yang dianggap setara dengan tindakan kesengajaan dikategorikan sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan medis, tetapi petugas kesehatan dan dokter melakukan juga tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang resiko dan akibat dari tindakan medis tersebut.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan dengan prosedur yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter (Fuady:2005).
Dengan demikian jika pasien tidak merasa diberikan informed consent namun tetap terjadi tindakan medis tanpa persetujuannya, maka pasien bisa menuntut dokter atau petugas kesehatan yang melakukannya. Hanya saja gugatan ini tidak serta merta dapat dilakukan, harus ada unsur sebagai berikut :
1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent.
2. Kewajiban tersebut diabaikan tanpa alasan jelas dan justifikasi yuridis.
3. Ada kerugian yang ditanggung pihak pasien.
4. Ada hubungan causalitas antara kerugian dengan tidak adanya informed consent tersebut.
Selain itu pasien juga harus memiliki bukti agar gugatannya cukup kuat di pengadilan. Bukti yang harus diperlihatkan adalah sebagai berikut :
1. Harus membuktikan bahwa kerugian pasien tersebut adalah sebagai akibat tindakan medis dokter.
2. Bahwa kerugian yang diderita pasien lebih besar dibandingkan jika ada informed consent dimana pasien mungkin dapat memiliki pertimbangan yang lain.
3. Bahwa didalam pemikiran yang masuk akal pasien akan memilih mengambil tindakan medis yang lain seandainya diberikan cukup informasi.
Dengan demikian setiap pasien berhak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Hak ini harus sepenuhnya dimengerti dan dihormati, sehingga setiap profesi medis tidak perlu mengorbankan reputasinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan etika dan hukum meskipun mungkin masalah tersebut dianggap terlalu remeh dan rutin.

Sumber Rujukan :
Dewi, A.I.,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher : Yogyakarta.

Akibat Transaksi Terapeutik

Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien.

Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata sebagai berikut ;
Pasal 1388 :
" Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu,.
Pasal 1339 :
" Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang".
Dari kedua pasal diatas dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1. Perjanjian terapeutik (transaksi terapeutik) berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain, misalnya ; karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau keluarganya.
3. Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati bersama dalam rumah sakit maupun orgnisasi profesi sebagai kebiasaan yang berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka akan dipaparkan kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut (Komalawati, 2002):
1. Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan paien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenga profesional dibidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
2. Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang mencirikan pemberian pertolongan.
3. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.