Jumat, 27 Agustus 2010

Teori Good Samaritan

Teori Good Samaritan adalah Teori Yang Melandasi Pengecualian Kewajiban Informed Consent.
Teori ini menganggap seorang dokter sebagai penolong yang baik hati. Sehingga seorang dokter atau petugas kesehatan tidak dapat dipersalahkan jika menolong orang lain yang dalam keadaan darurat atau bahaya, sepanjang pertolongan yang diberikan pantas atau layak.

Teori ini merupakan teori yang mengecualikan kewajiban informed consent. Namun secara yuridis ada konsekuensi yang harus ditanggung dengan ketiadaan informed consent. Jelas ada pihak yang dirugikan jika tidak ada informed consent terutama dipihak pasien karena rentannya terjadi malpraktik.
Kerugian yang mungkin timbul adalah sebagai berikut :
1. Kerugian cacat tubuh dan mental.
2. Kerugian materi yang seharusnya tidak perlu.
3. Kerugian karena menanggung rasa sakit.
4. Kerugian karena tidak bisa hidup secara normal dan mencari penghidupan akibat cacat yang terjadi.
5. Kerugian karena kematian.
6. Kerugian karena penodaan terhadap keyakinan beragama.
Dibanyak negara tindakan medis yang mengabaikan informed consent dianggap setara dengan melakukan kelalaian yang menyebabkan kerugian pada orang lain. Namun tidak jarang bahkan dianggap sebagai tindakan kesengajaan dan dapat di malpraktikkan. 
Tindakan yang dianggap setara dengan tindakan kesengajaan dikategorikan sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan medis, tetapi petugas kesehatan dan dokter melakukan juga tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang resiko dan akibat dari tindakan medis tersebut.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan dengan prosedur yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter (Fuady:2005).
Dengan demikian jika pasien tidak merasa diberikan informed consent namun tetap terjadi tindakan medis tanpa persetujuannya, maka pasien bisa menuntut dokter atau petugas kesehatan yang melakukannya. Hanya saja gugatan ini tidak serta merta dapat dilakukan, harus ada unsur sebagai berikut :
1. Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan informed consent.
2. Kewajiban tersebut diabaikan tanpa alasan jelas dan justifikasi yuridis.
3. Ada kerugian yang ditanggung pihak pasien.
4. Ada hubungan causalitas antara kerugian dengan tidak adanya informed consent tersebut.
Selain itu pasien juga harus memiliki bukti agar gugatannya cukup kuat di pengadilan. Bukti yang harus diperlihatkan adalah sebagai berikut :
1. Harus membuktikan bahwa kerugian pasien tersebut adalah sebagai akibat tindakan medis dokter.
2. Bahwa kerugian yang diderita pasien lebih besar dibandingkan jika ada informed consent dimana pasien mungkin dapat memiliki pertimbangan yang lain.
3. Bahwa didalam pemikiran yang masuk akal pasien akan memilih mengambil tindakan medis yang lain seandainya diberikan cukup informasi.
Dengan demikian setiap pasien berhak untuk menentukan apa yang terbaik bagi dirinya dan berhak menentukan nasibnya sendiri. Hak ini harus sepenuhnya dimengerti dan dihormati, sehingga setiap profesi medis tidak perlu mengorbankan reputasinya untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan etika dan hukum meskipun mungkin masalah tersebut dianggap terlalu remeh dan rutin.

Sumber Rujukan :
Dewi, A.I.,2008, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher : Yogyakarta.

Akibat Transaksi Terapeutik

Jika transaksi terapeutik telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka semua kewajiban yang timbul mengikat bagi para pihak, baik pihak dokter maupun pihak pasien.

Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata sebagai berikut ;
Pasal 1388 :
" Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu,.
Pasal 1339 :
" Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang".
Dari kedua pasal diatas dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1. Perjanjian terapeutik (transaksi terapeutik) berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan hal yang diperjanjikan.
2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain, misalnya ; karena dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien atau kondisi pasien memburuk setelah ditanganinya, dokter tidak boleh lepas tanggung jawab dengan mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain tanpa indikasi medis yang jelas. Untuk mengalihkan pasien kepada sejawat yang lain, dokter yang bersangkutan harus minta persetujuan pasien atau keluarganya.
3. Kedua belah pihak, baik dokter dan pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik. Wawancara dalam pengobatan harus dilakukan berdasarkan itikad baik dan kecermatan yang patut oleh dokter, dan pasien harus membantu menjawab dengan itikad baik pula agar hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan dibuatnya transaksi terapeutik.
4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu kepada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku baik kebiasaan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien. Dokter harus menjaga mutu pelayanan dengan berpedoman kepada standar pelayanan medik yang telah disepakati bersama dalam rumah sakit maupun orgnisasi profesi sebagai kebiasaan yang berlaku, serta memikirkan kelayakan dan kepatutan yang ada di masyarakat.
Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang transaksi terapeutik, maka akan dipaparkan kekhususan transaksi terapeutik dengan perjanjian pada umumnya sebagai berikut (Komalawati, 2002):
1. Subjek pada transaksi terapeutik terdiri dari dokter dan pasien. Dokter bertindak sebagai pemberi pelayanan medik profesional yang pelayanannya didasarkan pada prinsip pemberian pertolongan. Sedangkan paien sebagai penerima pelayanan medik yang membutuhkan pertolongan. Pihak dokter mempunyai kualifikasi dan kewenangan tertentu sebagai tenga profesional dibidang medik yang berkompeten untuk memberikan pertolongan yang dibutuhkan pasien, sedangkan pihak pasien karena tidak mempunyai kualifikasi dan kewenangan sebagaimana yang dimiliki dokter berkewajiban membayar honorarium kepada dokter atas pertolongan yang telah diberikan dokter tersebut.
2. Objek perjanjian berupa upaya medik profesional yang mencirikan pemberian pertolongan.
3. Tujuan perjanjian adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif).

Sumber Rujukan :
Isfandyarie, A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter Buku I, Prestasi Pustaka Publisher : Jakarta.